10 Orang Kusta

Tuesday, 23 January 2007

Tobing.or.id, Suatu hari ada seorang datang pada saya. Dia memperkenalkan diri bahwa dulu dia pernah datang menemui saya. Setelah ngobrol kesana kesini akhirnya dia mengeluarkan amplop. Dia mengatakan bahwa 4 tahun lalu pernah pinjam uang Rp 100.000 pada saya untuk dibuat modal. Sekarang modal itu sudah berkembang dan dia bisa hidup dengan lebih baik bersama keluarganya. Maka dia ingin mengembalikan apa yang dia pinjam dulu.

Sebetulnya saya sendiri sudah lupa apakah pernah atau tidak meminjami uang padanya, sebab hampir setiap saat ada saja orang yang datang dengan aneka keperluan seperti itu. Ada yang meminjam untuk modal, ada yang meminta untuk ongkos pulang kembali ke daerah asal, untuk biaya keluarganya yang sakit dan sebagainya.

Saya merasa terharu ketika dia mengembalikan uang itu. Ini yang pertama saya alami. Ada orang yang meminjam dan mengembalikan. Pada umumnya setelah meminjam mereka tidak kembali, bahkan ada yang pindah ke gereja lain sebab malu belum bisa mengembalikan pinjaman, meski saya tidak pernah menyinggung soal pinjam meminjam itu. Tamu saya itu seorang muslim yang dulu pernah menggelandang. Dia sekarang jualan kecil-kecilan dan cukup untuk hidup.

Bacaan Injil hari ini dari 10 orang yang disembuhkan Yesus hanya satu yang kembali yaitu orang Samaria. Mengapa orang Yahudi tidak kembali? Apakah mereka tidak merasa ditolong oleh Yesus? Apakah mereka tidak punya hati untuk berterima kasih?

Kadang orang yang meminjam atau meminta bantuan pada saya mengatakan bahwa apa yang diterima adalah uang Gereja. Jadi mereka berhak untuk meminjam dan tidak mengembalikan. Itu kan uang Gereja. Itulah alasan yang sering dikatakan. Demikian pula kalau orang sedang mengalami konflik dalam kehidupannya. Dia datang dan memaksa saya untuk mendengarkan keluh kesahnya. Tapi setelah semua berlalu dia tidak pernah muncul lagi. Mereka mengatakan ya itu wajar saja sebab memang tugas saya untuk mendengarkan.

Mungkin orang Yahudi juga sama saja. Mereka melihat bahwa Yesus diutus untuk bangsa Yahudi, maka ketika Dia menyembuhkannya, itu sudah sebuah tindakan wajar. Jadi tidak perlu kembali dan terima kasih. Itu sudah tugas Yesus untuk menolong mereka.

Sering orang melihat sesuatu dianggap wajar saja. Kalau Allah memberi nafas setiap hari, memberi keselamatan setiap hari, memberi rejeki setiap hari dan sebagainya, itu sudah wajar. Allah itu seharusnya memang berbuat begitu. Menolong umat manusia. Kalau Allah memberikan petaka, bencana, dan hal negatif lainnya, maka ini perlu dipersoalkan. Orang boleh mengeluh, protes dan menuntut padaNya. Disinilah letak ketidakseimbangan.

Rasa syukur muncul dari pengalaman yang tidak mengenakkan berubah menjadi pengalaman yang mengenakkan. Dari situasi negatif menjadi situasi positif. Atau bisa juga ada hal-hal yang "mengejutkan", tidak terduga yang dialami dalam hidup. Ada berkah dalam hidup. Perubahan dari negatif ke positif bisa disebabkan oleh peran orang lain dan sebagainya. Seharusnya kesadaran akan peran pribadi lain ini tidak dianggap wajar atau sebagai sebuah tindakan yang "seharusnya". Kalau hanya melihat itu sulit bagi orang untuk bersyukur.

Sebetulnya setiap saat Allah memberikan sesuatu yang tidak terduga. Memberi berkah, hanya karena orang melihat sebagai sesuatu yang wajar dan logis (sebab akibat, aku bekerja maka aku dapat uang, dan sebagainya) maka sulit sekali bersyukur.

Seandainya orang bisa memposisikan diri sebagai orang Samaria, yang senantiasa merasa dia tidak pantas dibantu, sebab keselamatan bukan untuk mereka sebagai warga kelas dua di daerah Yahudi, sebagai orang kusta yang harus jauh dari masyarakat, maka orang akan mudah bersyukur. Betapa dia yang tidak pantas ini diberi anugerah yang tidak terduga dari seorang yang sangat hebat dan terhormat. Kesadaran ini membuatnya datang kembali untuk bersyukur dan menyembah Yesus. 9 orang lain adalah orang yang taat pada Yesus. Mereka disuruh pergi menghadap para imam dan mereka melaksanakannya. Kesembuhan dari kusta dilihat juga sebagai usaha mereka yang berjalan menghadap para imam. Maka mereka tidak kembali pada Yesus sebab keberhasilan itu merupakan usaha mereka.

Banyak dari kita juga taat pada Yesus. Banyak orang taat untuk misa pada hari minggu. Mereka puasa pada waktu yang ditentukan. Mereka membayar perpuluhan seperti yang diperintahkan dalam Perjanjian Lama. Mereka mentaati semua itu. Namun apakah misa sebagai wujud syukur atas perlindungan dan karya Allah selama seminggu? Apakah perpuluhan merupakan perwujudan rasa syukur atas berkah selama sebulan? Ketaatan berbeda dengan rasa syukur. Namun banyak orang sudah puas dengan ketaatan itu.

Kita perlu menjadi orang Samaria yang bukan hanya taat tapi juga melihat sumbernya. Dia melihat Yesus sebagai asal dari perintah itu. Kesembuhan bukan hanya karena ketaatannya untuk pergi kepada para imam (yang belum tentu diterima juga sebab dia orang Samaria) tapi juga peran Yesus yang memberikan perintah.

St. SMD. Lumbantobing